Putusan atas sengketa Pajak Penghasilan Final bagi Wajib Pajak Badan yang lahir dari Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) ini telah menegaskan bahwa Laporan Keuangan Audit yang diajukan ke pihak ketiga dapat diakui sebagai Data Konkret yang kredibel oleh otoritas pajak, sebuah penetapan yang berimplikasi langsung pada pengenaan PPh Final dan sanksi kenaikan 200% sesuai amanat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Inti konflik dalam kasus PT JDX berpusat pada selisih aset yang signifikan, di mana total aset menurut Laporan Keuangan Audit 2015 sebesar Rp. 814.526.485.909,00 jauh melampaui total harta bersih yang diungkapkan oleh PT JDX dalam Surat Pernyataan Harta (SPH).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berargumen bahwa selisih harta yang belum diungkapkan tersebut, setelah diselisihkan dengan harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh terakhir, wajib diperlakukan sebagai Harta Bersih yang Dianggap Sebagai Penghasilan. DJP menggunakan Laporan Keuangan Audit 2015 sebagai alat bukti utama, meyakini bahwa dokumen yang diserahkan perusahaan ke Bank untuk tujuan kredit memiliki kekuatan pembuktian yang tidak dapat dikesampingkan. Dengan demikian, DJP menerapkan Pasal 18 ayat (1) dan (3) UU Tax Amnesty secara literal, yang mengamanatkan pengenaan PPh Final 25% untuk Wajib Pajak Badan dan ditambah dengan sanksi kenaikan 200% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar.
Di sisi PT JDX, argumen pertahanan dibangun di atas dua pilar. Pilar pertama adalah menolak keabsahan Laporan Keuangan Audit tersebut sebagai basis koreksi, dengan mempertanyakan integritas Akuntan Publik yang mengaudit dan menegaskan bahwa laporan tersebut dibuat untuk tujuan non-pajak. Pilar kedua adalah mengenai kesalahan perhitungan DPP. PT JDX bersikeras bahwa koreksi seharusnya didasarkan pada konsep Harta Bersih (Aset dikurangi Utang) sesuai PP 36 Tahun 2017, bukan hanya selisih Total Aset. PT JDX mengklaim adanya kewajiban/utang yang terkait dengan perolehan harta tersebut, yang harus mengurangi DPP PPh Final, serta mempertanyakan keadilan sanksi 200% bagi PT JDX yang telah beritikad baik.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak, setelah menimbang seluruh bukti, memutuskan untuk Menolak Banding PT JDX. Pertimbangan hukum kunci Majelis adalah Laporan Keuangan Audit, terlepas dari tujuan awalnya dan keberatan atas Akuntan Publik, tetap merupakan pernyataan aset perusahaan yang sah dan telah disajikan ke pihak ketiga. Majelis berpendapat bahwa PT JDX terikat pada ketentuan Pasal 18 UU Tax Amnesty. Oleh karena itu, temuan harta yang belum diungkapkan wajib dikenakan PPh Final dan sanksi 200%, menguatkan perhitungan DPP Harta Bersih dan sanksi yang ditetapkan DJP.
Implikasi dari putusan ini sangat penting bagi praktik kepatuhan pajak. Putusan ini menegaskan bahwa integritas dan konsistensi data pelaporan, baik untuk keperluan pajak maupun non-pajak, adalah hal yang krusial. Wajib Pajak Badan harus memastikan tidak ada diskrepansi antara aset yang dilaporkan dalam SPH dengan data yang dimiliki pihak ketiga (seperti Bank atau OJK) untuk menghindari risiko pengenaan sanksi kenaikan 200% yang masif. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa kepatuhan Tax Amnesty menuntut pengungkapan harta secara paripurna dan tanpa celah, karena otoritas pajak memiliki akses yang luas terhadap berbagai Data Konkret.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini